LANDAK - Dalam sebuah operasi yang dinantikan publik, tiga orang diduga sebagai otak penampung hasil Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI)
YD PR, PPT, dan GR, selama ini diduga menjadi aktor intelektual yang menggerakkan roda ekonomi hitam dari aktivitas penambangan ilegal .
Suara gemuruh ekskavator dan dentingan palu terdengar lebih kencang daripada kicauan burung. Alam menjerit, tetapi aktivitas tambang seolah tak peduli.
Data dari Dinas Lingkungan Hidup setempat mencatat, lebih dari 500 hektar hutan dan lahan telah berubah fungsi menjadi areal pertambangan.
Investigasi ini berhasil mengungkap mata rantai yang berjalan sistematis. Para penambang tradisional, yang sering kali hanya dianggap sebagai "kambing hitam", bekerja di garis terdepan.
Mereka mengolah material tanah dan batu dengan merkuri untuk memisahkan butiran emas. Hasil olahan inilah yang kemudian mengalir ke para penampung seperti YD PR, PPT, dan GR.
Ketiganya diduga memiliki jaringan yang kuat, modal besar, dan akses untuk memasarkan emas ilegal tersebut ke pasar gelap.
Ironisnya, di tengah kehancuran ekologi yang masif, bisnis haram ini justru berjalan dengan mulus. Seorang sumber warga, yang enggan disebutkan namanya, dengan nada sinis mengonfirmasi, “Namun usahanya selama ini aman-aman saja, Bro.” Ucapan “aman-aman saja” ini adalah satire pedas terhadap kondisi di lapangan yang seolah membiarkan para aktor besar bernapas lega
Para “raja” penampung ini mungkin menikmati kekayaan mereka, sementara masyarakat menanggung warisan racun untuk generasi mendatang.( Euis / Tim ).
Trending